Sebagai bahasa nasional bahasa
Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, lambing identitas
nasional, alat pemersatu, dan alat komunikasi antardaerah dan antarkebudayaan.
Sebagai lambing kebangsaan bahasa Indonesia mampu mencerminkan nilai-nilai
social budaya yang mendasari rasa kebanggaan kita.
Sebagai
lambang identitas nasional, bahasa Indonesia harus kita junjung disamping
bendera dan negara kita. Bahasa Indonesia pun harus pula mampu sebagai alat
pemersatu berbagai suku bangsa yang memiliki latar belakang kebudayaan dan
bangsa yang berbeda-beda. Bahasa Indonesia telah memungkinkan berbagai suku
bangsa mencapai keserasian hidup dalam suatu bangsa. Bahasa Indonesia sesuai
fungsinya juga berperan sebagai alat pengungkapan perasaan dan telah sanggup
pula mengungkapkan nuansa perasaan yang halus.
Sesuai
dengan ketentuan yang tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945, BAB XV, Pasal 36,
selain sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa
Negara. Sebagai bahasa Negara bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi
kenegaraan, bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, sebagai alat berhubungan,
dan sebagai sarana pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Sebagai alat pengembangan kebudayaan nasional, bahasa telah memungkinkan kita
membina serta, mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa, sehingga kita
dapat membedakan kebudayaan nasional dengan kebudayaan daerah karena memiliki
ciri dan identitas tersendiri.
Sebagai
pendukung ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta pengembangkan dan
penyebarannya, bahasa memegang peranan penting. Bahasa Indonesia harus mampu
mengungkapkan proses pemikiran yang rumit dalam berbagai bidang ilmu,
teknologi, dan hubungan antar manusia. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan
kehidupan modern harus dapat dicapai melalui bahasa. Memiliki kemampuan
berbahasa telah memungkinkan manusia memikirkan suatu masalah secara
terus-menerus. Dengan bahasa, manusia dapat mengkomunikasikan apa yang ada dipikirannya
dan dapat pula mengekspresikan sikap dan perasaannya.
Berpikir ilmiah merupakan kegiatan berpikir yang sistematis dan teratur, berdasarkan prosedur tertentu. Bahasa merupakan sarana berpikir. Manusia dapat berpikir dengan baik karena manusia memiliki bahasa. Bahasa merupakan sarana berpikir yang pertama dan mungkin yang utama. Bahkan keunikan manusia sebetulnya bukan terletak pada kemampuannya berbahasa (Jujun S. Suriasumantri, 1981). Tanpa bahasa tidak mungkin manusia berpikir secara sistematis, teratur, dan berlanjut.
Berpikir ilmiah merupakan kegiatan berpikir yang sistematis dan teratur, berdasarkan prosedur tertentu. Bahasa merupakan sarana berpikir. Manusia dapat berpikir dengan baik karena manusia memiliki bahasa. Bahasa merupakan sarana berpikir yang pertama dan mungkin yang utama. Bahkan keunikan manusia sebetulnya bukan terletak pada kemampuannya berbahasa (Jujun S. Suriasumantri, 1981). Tanpa bahasa tidak mungkin manusia berpikir secara sistematis, teratur, dan berlanjut.
Bahasa
memungkinkan pula manusia berpikir secara rumit dan abstrak. Dalam hal ini
objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang
bersifat abstrak. Manusia dapat berpikir mengenai objek tertentu, walaupun
objek itu secara faktual tidak kelihatan. Hal ini telah memungkinkan manusia
berpikir secara berlanjut. Transformasi objek faktual menjadi simbol abstrak
diwujudkan dengan perbendaharaan kata-kata yang akhirnya dapat mengungkapkan
jalan pikiran dan ekspresi perasaan.
Akan
tetapi, sebagai saran komunikasi ilmiah bahasa memiliki beberapa kekurangan.
Kekurangan ini disebabkan oleh sifat bahasa yang multi fungsi sebagai sarana
komunikasi emotif, afektif, dan simbolik. (Jujun S. Suriasumantri, 1981). Dalam
komunikasi ilmiah yang pada hakikatnya bersifat objektif, bahasa sebagai
sarananya harus bebas dari aspek emotif dan afektif, atau dalam pemakaian harus
menekan hal-hal tersebut seminimal mungkin. Dalam kenyataannya syarat ini sulit
dipenuhi karena pada hakikatnya kekurangan bahasa itu bersumber pada manusia
yang tidak terlepas dari unsure motif dan afektif (Sabarti Akhadiah, 1983).
Komunikasi
ilmiah bertujuan menyampaikan informasi yang berupa ilmu. Penyampaian informasi
ini harus ditunjang oleh pemakaian bahasa yang bebas nilai, bebas dari unsur
emotif dan afektif. Pilihan kata harus tepat dan tidak menimbulkan pengertian
ganda, artinya penggunaan kata harus sesuai dengan pesan yang ingin
disampaikan. Misalnya yang kita maksut penelitian
tetapi kita menggunakan kata penyelidikan.
Apalagi mengingat pengetahuan ilmiah
penuh dengan terminologi yang kadang-kadang penafsirannya berbeda antara
seorang ilmuan dengan ilmuan lainnya. Untuk menghindarkan salah tafsir
sebaiknya seorang pembicara atau penulis menjelaskan pengertian yang dikandung
oleh terminologi yang kita pilih. Penjelasan ini pada hakikatnya berlaku dalam
seluruh proses komunikasi ilmiah. Misalnya, kita menyatakan bahwa kemampuan
penalaran ilmiah sangat diperlukan oleh seseorang baik dalam kehidupan individu
maupun dalam kehidupan dalam masyarakat. Dalam hal ini kita biasanya
menjelaskan tentang penalaran ilmiah itu. Untuk itu, kalimat tersebut kita
sambung dengan pernyataan yang bersifat menjelaskan. Misalnya : penalaran
ilmiah ialah proses berpikir secara induktif dan deduktif untuk mendapatkan
pengetahuan yang berbentuk kesimpulan. Dalam hal ini perlu kita ingat
penjelasan ini jangan terpisah dengan konsep yang kita jelaskan, supaya
penjelasan ini efektif, karena tujuan komunikasi ilmiah itu adalah untuk
konsumsi pihak lain.
Informasi yang disampaikan harus pula
ditunjang oleh pemakaian kalimat yang efektif. Sebuah kalimat yang tidak
diidentifikasikan mana subjek dan mana yang predikat, serta bagaimana kaitan
subjek dan predikat kemungkinan besar informasi yang disampaikan tidak jelas.
Tata bahasa merupakan ekspresi logika berpikir. Pemakaian tata bahasa yang
kurang cermat, mencerminkan logika berpikir yang kurang cermat pula. Oleh
karena itu, seorang pembicara harus pula menggunakan tata bahasa secara baik,
sehingga pesan pun diterima secara tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar